Macan tutul merupakan salah satu kucing besar yang memiliki kemampuan adaptasi luar biasa terhadap berbagai lingkungan.


Hewan ini mampu bertahan di habitat yang sangat beragam, mulai dari padang rumput, pegunungan, hutan hujan, lahan basah, hingga daerah semi-gurun dan lahan pertanian.


Keanekaragaman habitat ini mencerminkan kehebatan macan tutul dalam menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan. Saat ini, para peneliti telah mengidentifikasi sembilan subspesies macan tutul, yaitu macan tutul Afrika, macan tutul India, macan tutul Tiongkok Utara, macan tutul Timur Jauh, macan tutul Indo-Cina, macan tutul Arab, macan tutul Persia, macan tutul Sri Lanka, dan macan tutul Jawa. Macan tutul Afrika tersebar di seluruh benua Afrika, sedangkan delapan subspesies lainnya menghuni berbagai wilayah di Asia.


Namun, dalam satu abad terakhir, populasi macan tutul mengalami penurunan drastis. Aktivitas manusia, seperti perusakan habitat dan pemburuan liar, menjadi penyebab utama. Selain itu, spesies mangsa macan tutul juga turut diburu, memperburuk kondisi habitat mereka. Hanya populasi macan tutul Afrika dan India yang masih relatif stabil, dengan estimasi jumlah mencapai sekitar 10.000 individu per subspesies. Populasi macan tutul Indo-Cina diperkirakan berada di kisaran 973 hingga 2.503 individu. Sementara itu, enam subspesies lainnya memiliki populasi yang sangat kecil, dengan jumlah individu kurang dari 1.000. Beberapa daerah bahkan telah melaporkan kepunahan subspesies ini.


Dalam menghadapi ancaman ini, studi genetika menjadi alat penting untuk mendukung konservasi macan tutul. Penelitian yang dilakukan oleh sejumlah lembaga, termasuk Universitas Potsdam di Jerman, mengungkapkan wawasan baru mengenai genetika spesies ini, yang dipublikasikan dalam jurnal "Current Biology." Temuan ini memberikan informasi penting untuk perlindungan macan tutul.


Biasanya, analisis genetik membutuhkan sampel jaringan segar, namun pendekatan ini sulit dilakukan karena kelangkaan beberapa subspesies macan tutul. Selain itu, pengambilan sampel secara invasif dapat merugikan populasi yang sudah terancam. Oleh sebab itu, para peneliti memanfaatkan kulit macan tutul yang diawetkan di museum sejarah alam. Dalam penelitian ini, mereka berhasil mensekuensing gen dari 26 macan tutul, terdiri atas 14 individu Afrika dan 12 individu Asia. Sebanyak 18 sampel di antaranya berasal dari kulit yang diawetkan.


Melalui pendekatan genomik mendalam, para peneliti menemukan perbedaan genetik yang signifikan antara macan tutul Afrika dan Asia. Perbedaan ini bahkan lebih besar dibandingkan dengan perbedaan antara beruang cokelat dan beruang kutub. Macan tutul Afrika memiliki keragaman genetik yang jauh lebih tinggi, sekitar dua kali lipat dibandingkan dengan macan tutul Asia. Subspesies dengan populasi lebih kecil, seperti macan tutul Timur Jauh, menunjukkan keragaman genetik yang rendah, sedangkan macan tutul India dan macan tutul Jawa memiliki keragaman genetik yang lebih tinggi.


Analisis DNA mitokondria macan tutul mengungkap hipotesis mengenai sejarah evolusi spesies ini. Para peneliti berpendapat bahwa macan tutul kemungkinan berasal dari barat laut Afrika dan bermigrasi ke Asia sekitar 500.000 hingga 600.000 tahun yang lalu. Di Asia, mereka berevolusi menjadi berbagai subspesies yang ada saat ini. Sepanjang sejarah, hanya terjadi sedikit hibridisasi antara populasi Afrika dan Asia.


Hasil penelitian ini menegaskan pentingnya tindakan mendesak untuk melindungi macan tutul dari ancaman yang terus meningkat, seperti perusakan habitat dan pemburuan liar. Upaya konservasi membutuhkan kolaborasi lintas negara dan organisasi, termasuk perlindungan habitat, pengurangan aktivitas pemburuan, dan pengelolaan populasi untuk memastikan kelangsungan hidup spesies yang semakin terancam ini.