Gajah, yang terkenal dengan ukurannya yang besar dan masa hidupnya yang panjang, yang bisa disamakan dengan manusia, merupakan paradoks biologis yang unik. Meskipun memiliki lebih banyak sel daripada manusia, gajah jarang mengalami kanker.
Fenomena ini mengejutkan karena kanker umumnya dianggap sebagai permainan angka: semakin banyak sel yang dimiliki oleh suatu organisme, semakin banyak peluang untuk mutasi dan kerusakan DNA, yang akhirnya menyebabkan pertumbuhan sel yang tidak terkendali dan pembentukan tumor.
Sebuah studi yang dipimpin oleh Konstantinos Karakostis dari Universitas Otonom Barcelona, yang dipublikasikan dalam jurnal Molecular Biology and Evolution, menawarkan penjelasan mungkin untuk fenomena ini, khususnya pada gajah. Fenomena ini, yang dikenal sebagai Paradox Peto, pertama kali dijelaskan pada tahun 1977 oleh ahli epidemiologi Inggris Richard Peto, yang mengamati bahwa tingkat kanker tidak sebanding dengan jumlah sel dalam suatu organisme. Studi ini difokuskan pada protein p53, yang merupakan faktor transkripsi yang memainkan peran kunci dalam perbaikan DNA dan pengendalian mutu sel. Protein-protein ini mengatur aktivitas gen selama transkripsi DNA menjadi RNA dan mengawasi mekanisme untuk menangani kerusakan DNA.
Ketika kerusakan DNA terjadi, p53 mencegah pengikatan dengan protein yang disebut mdm2, memicu serangkaian peristiwa seluler. Peristiwa-peristiwa ini bertujuan untuk memperbaiki kerusakan; jika perbaikan tidak berhasil, p53 memulai kematian sel terprogram untuk menghilangkan sel yang rusak. Meskipun p53 adalah mekanisme anti-kanker yang kuat pada manusia, sel kanker seringkali menemukan cara untuk melewati sistem ini, memastikan bahwa ikatan mdm2 tidak terpengaruh. Hal ini mengelakkan pengendalian mutu, meninggalkan tahap-tahap terakhir dari perbaikan atau penghancuran sel tidak lengkap.
Sebagian besar hewan, termasuk manusia, memiliki satu jenis protein p53. Namun, pada tahun 2023, ilmuwan menemukan bahwa gajah memiliki 20 jenis p53 yang berbeda. Setiap jenis memiliki variasi yang kecil, mendorong para peneliti untuk berspekulasi bahwa variasi-variasi ini mungkin bekerja bersama untuk meningkatkan pertahanan anti-kanker gajah.
Studi tersebut mengusulkan bahwa protein-protein p53 yang beragam ini berinteraksi secara berbeda dengan mdm2, sehingga hampir mustahil bagi sel kanker untuk mengelakkan semua 20 jenis tersebut. Simulasi pada tingkat molekuler mendukung teori ini, menunjukkan bahwa variasi dalam interaksi p53-mdm2 menambahkan lapisan perlindungan. Percobaan laboratorium mengkonfirmasi bahwa meskipun sel kanker mungkin berhasil melewati satu jenis p53, mereka tidak dapat mengatasi mekanisme pertahanan yang beragam yang diberikan oleh seluruh rentetan protein p53 pada gajah.
Meskipun temuan tersebut, Paradox Peto masih sebagian belum terpecahkan. Jika protein p53 yang beragam menyediakan keuntungan kelangsungan hidup yang jelas, mengapa manusia belum berevolusi untuk memiliki mekanisme serupa? Demikian pula, paus biru, yang bahkan lebih besar dari gajah, telah mengembangkan metode yang sama sekali berbeda untuk melindungi sel-sel mereka.
Seperti yang sering terjadi dalam ilmu pengetahuan, jawabannya terletak pada penelitian lebih lanjut. Namun, studi ini menawarkan wawasan potensial bagi kedokteran manusia. Misalnya, sebuah studi pada tahun 2016 menunjukkan bahwa rekayasa genetika pada tikus untuk menyertakan salinan tambahan p53 meningkatkan kemampuan mereka dalam mendeteksi dan memperbaiki kerusakan DNA.
Penelitian ini menegaskan pelajaran kritis: keberhasilan dalam melawan isu-isu kompleks, seperti kanker, seringkali bergantung tidak hanya pada memiliki tim pertahanan yang lebih besar, tetapi juga yang lebih beragam.