Kepercayaan bahwa lebih banyak protein dapat mempercepat pertumbuhan otot dan penurunan berat badan telah mendorong popularitas suplemen, potongan, dan shake protein. Namun, apakah produk-produk ini benar-benar bermanfaat atau justru dapat memiliki efek samping?


Pada awal abad ke-20, penjelajah Arktik Vilhjalmur Stefansson melakukan serangkaian eksperimen yang berfokus pada diet yang hanya terdiri dari daging. Dietnya terdiri dari sekitar 80% minyak dan 20% protein.


Dalam studi selama setahun di Rumah Sakit Bellevue di Kota New York pada tahun 1928, Stefansson mengulang diet ini. Tujuannya adalah untuk menantang klaim bahwa manusia tidak dapat bertahan hidup hanya dengan mengonsumsi daging. Namun, mengonsumsi hanya daging tanpa minyak menyebabkan dia mengembangkan "keracunan protein," yang juga dikenal sebagai "kelaparan kelinci." Kondisinya membaik setelah dia mengurangi konsumsi protein dan meningkatkan asupan minyak. Setelah kembali ke diet standar Amerika, kesehatan Stefansson dilaporkan menurun lagi, yang membuatnya mengadopsi pola makan rendah karbohidrat, tinggi lemak, dan tinggi protein hingga meninggal pada usia 83 tahun.


Eksperimen-eksperimen ini merupakan contoh langka dari efek samping negatif konsumsi protein berlebih. Meskipun pasar untuk produk-produk kaya protein terus berkembang, masih ada pertanyaan tentang seberapa banyak protein yang sebenarnya dibutuhkan dan apakah terlalu banyak atau terlalu sedikit bisa berisiko.


Peran Protein dalam Diet Modern


Tingkat obesitas telah meningkat dua kali lipat dalam dua dekade terakhir, yang meningkatkan kesadaran tentang pilihan diet yang sehat. Banyak individu kini beralih ke pilihan makanan yang lebih sehat, seperti roti gandum utuh atau susu skim. Protein telah menjadi pusat dari pergeseran diet ini, dengan produk-produk yang diperkaya protein—mulai dari potongan hingga sup—membanjiri rak supermarket. Pasar suplemen protein global, yang bernilai $22,43 miliar pada tahun 2021, mencerminkan keyakinan bahwa protein sangat penting untuk kesehatan dan kebugaran. Namun, beberapa ahli berpendapat bahwa produk-produk ini mungkin tidak sebanding dengan harga yang seringkali mahal.


Protein dan Pembentukan Otot


Protein berperan penting dalam memperbaiki dan membangun jaringan tubuh. Makanan seperti daging, ikan, susu, telur, dan kacang-kacangan kaya akan protein yang dipecah menjadi asam amino selama pencernaan. Kemudian, hati menentukan bagaimana asam amino ini digunakan, sementara sisanya dibuang melalui cairan tubuh.


Bagi orang dewasa yang memiliki gaya hidup relatif tidak aktif, asupan protein harian yang disarankan adalah sekitar 0,75g per kilogram berat badan. Ini setara dengan 55g untuk pria dan 45g untuk wanita, kira-kira dua porsi makanan berprotein setiap hari. Kekurangan protein yang parah, yang dapat menyebabkan gejala seperti kerontokan rambut atau pemborosan otot, jarang terjadi dan biasanya ditemukan pada kasus gangguan makan.


Keterkaitan protein dengan pembentukan otot sudah terbukti dengan baik. Latihan kekuatan dapat merusak protein otot, dan mengonsumsi protein membantu perbaikan dan pertumbuhannya. Asam amino tertentu, seperti leusin, sangat penting dalam proses ini. Beberapa ahli berpendapat bahwa melewatkan konsumsi protein setelah berolahraga bisa menyebabkan lebih banyak kerusakan otot daripada perbaikan. Inilah yang mempopulerkan suplemen protein setelah berolahraga, terutama yang mengandung whey protein, produk sampingan dari pembuatan keju yang kaya leusin.


Meski ada banyak hype, banyak orang tetap tidak yakin dengan manfaat nyata dari produk-produk ini. Survei menunjukkan bahwa meskipun banyak orang menghabiskan banyak uang untuk suplemen protein, mereka meragukan apakah produk ini memberikan hasil yang nyata. Penelitian pada tahun 2022 menunjukkan bahwa bubuk protein memang membantu pertumbuhan otot dan kekuatan tubuh bagian bawah, tetapi tidak berpengaruh signifikan pada uji kekuatan lainnya atau mengurangi rasa sakit otot setelah berolahraga.


Untuk sebagian besar orang, kebutuhan protein harian dapat dengan mudah dipenuhi melalui diet biasa. Kevin Tipton, seorang profesor di University of Stirling, menekankan bahwa suplemen protein hanya menawarkan kenyamanan dan tidak lebih unggul daripada makanan biasa. Bahkan untuk binaragawan, suplemen sering kali dianggap lebih bernilai dibandingkan dengan faktor-faktor seperti intensitas pelatihan, diet, dan istirahat.


Siapa yang Membutuhkan Protein Ekstra?


Ahli gizi umumnya setuju bahwa makanan kaya protein lebih disarankan dibandingkan dengan suplemen, meskipun ada beberapa pengecualian. Atlet yang kesulitan memenuhi kebutuhan protein harian mereka mungkin akan mendapat manfaat dari shake protein. Kelompok lain yang memerlukan lebih banyak protein adalah orang tua, yang membutuhkan tambahan protein untuk mempertahankan massa otot. Namun, penurunan konsumsi protein di kalangan lansia, yang berkaitan dengan pergeseran ke preferensi makanan manis, sering kali memperumit kebutuhan ini.


Peneliti seperti Emma Stevenson dari Newcastle University bekerja sama dengan perusahaan makanan untuk memasukkan lebih banyak protein dalam camilan yang sering dikonsumsi oleh populasi lanjut usia. Rekomendasi menyarankan peningkatan konsumsi protein menjadi sekitar 1,2g per kilogram berat badan untuk kelompok ini.


Protein dan Penurunan Berat Badan


Protein sering kali dikaitkan dengan penurunan berat badan, karena diet tinggi protein, seperti Paleo dan Atkins, dikenal dapat meningkatkan rasa kenyang. Rasa lapar sering menjadi penghalang utama dalam usaha penurunan berat badan, namun penelitian menunjukkan bahwa sarapan tinggi protein dapat mengurangi rasa lapar sepanjang hari. Alex Johnstone dari University of Aberdeen mendukung gagasan bahwa protein membantu rasa kenyang, tetapi memperingatkan agar tidak mengadopsi diet ekstrem yang menghilangkan karbohidrat, yang dapat merusak kesehatan saluran pencernaan.


Sebaliknya, diet seimbang dengan 30% protein, 40% karbohidrat, dan 30% lemak lebih disarankan untuk manajemen berat badan. Sumber protein rendah lemak seperti ayam dan ikan adalah pilihan ideal, sementara konsumsi daging merah yang berlebihan telah dikaitkan dengan risiko kesehatan, termasuk kanker dan penyakit jantung.


Sumber protein non-daging, seperti mycoprotein yang berasal dari jamur, menawarkan alternatif. Produk seperti Quorn tidak hanya kaya protein, tetapi juga tinggi serat, yang dapat berpengaruh positif pada rasa kenyang dan regulasi insulin. Penelitian menunjukkan bahwa diet yang memasukkan mycoprotein dapat memperbaiki indikator darah yang terkait dengan risiko lebih rendah terhadap penyakit jantung dan diabetes dibandingkan dengan diet berbasis daging tradisional.


Sumber Protein Terbaik untuk Kesehatan


Penelitian terbaru menunjukkan bahwa protein dari produk susu dan tumbuhan mungkin memberikan manfaat kesehatan jangka panjang terbaik. Sebuah studi tahun 2024 terhadap 48.000 perawat menemukan bahwa konsumsi lebih tinggi protein dari susu dan tumbuhan terkait dengan risiko lebih rendah terhadap penyakit kronis dan kesehatan mental yang lebih baik pada usia lanjut. Sebaliknya, protein hewani menunjukkan kaitan dengan beberapa kondisi kronis. Namun, mekanisme yang mendasari temuan ini masih belum jelas.


Apakah Terlalu Banyak Protein Berbahaya?


Melebihi kebutuhan protein memang sulit bagi kebanyakan orang. Menurut Tipton, kekhawatiran tentang protein yang merusak ginjal atau tulang pada individu yang sehat tidak memiliki bukti substansial. Bagi mereka yang memiliki masalah ginjal sebelumnya, konsumsi protein berlebihan bisa menjadi risiko, tetapi kemungkinannya rendah.


Namun, suplemen protein sering mengandung bahan tambahan seperti FODMAPs, yang dapat menyebabkan ketidaknyamanan pencernaan. Membaca label dengan hati-hati sangat disarankan, karena produk ini juga bisa mengandung kalori tinggi dengan kandungan gula yang tinggi. Mengonsumsi lebih banyak protein daripada yang dibutuhkan mungkin hanya akan menghasilkan pemborosan uang, karena protein berlebih akan dibuang.


Pada akhirnya, meskipun risiko kelebihan protein sangat minim, perhatian utama mungkin terletak pada pemborosan uang untuk produk-produk yang memberikan lebih banyak protein daripada yang sebenarnya dibutuhkan tubuh.