Intermittent fasting (IF) kini menjadi tren yang semakin populer berkat banyaknya selebritas dan tokoh terkenal yang mempromosikan manfaatnya. Salah satu yang terkenal adalah Perdana Menteri Inggris, Rishi Sunak, yang secara terbuka mengungkapkan kebiasaannya memulai minggu dengan berpuasa selama 36 jam.



.


Meskipun banyak bukti yang mendukung manfaat fisologis puasa, para ahli memperingatkan bahwa IF mungkin bukan strategi terbaik untuk semua orang, terutama untuk penurunan berat badan.


Apa Itu Intermittent Fasting?


Intermittent fasting adalah pola makan yang membatasi waktu makan dalam jangka waktu tertentu setiap harinya. Salah satu metode yang paling populer adalah 16:8, di mana seseorang berpuasa selama 16 jam dan makan dalam jendela waktu 8 jam. Metode lainnya adalah diet 5:2, yang membatasi asupan kalori hanya 25% dari konsumsi normal selama dua hari, sementara lima hari sisanya makan secara normal.


Rachel Clarkson, seorang ahli diet asal London yang juga pendiri The DNA Dietitian, menekankan bahwa meskipun IF dapat membantu mengurangi asupan kalori, pola ini tidak mengajarkan kebiasaan jangka panjang yang diperlukan untuk menjaga pola makan sehat. Banyak orang yang kembali ke pola makan lama mereka setelah berhenti berpuasa, yang akhirnya dapat menyebabkan berat badan kembali naik. Selain itu, puasa juga dapat menyebabkan perasaan kekurangan makanan, yang dapat memicu makan berlebihan keesokan harinya.


Puasa dan Perbaikan Seluler


Selain penurunan berat badan, puasa juga memiliki potensi manfaat lainnya, terutama melalui proses yang disebut autophagy. Ini adalah mekanisme alami tubuh untuk mendaur ulang komponen sel yang rusak. Selama autophagy, tubuh memecah dan menggunakan kembali struktur seluler seperti mitokondria (penghasil energi), lisosom (sistem pembuangan limbah), bahkan inti sel yang berisi DNA. Proses ini membantu menghilangkan komponen yang tidak berfungsi dan menyediakan bahan untuk struktur sel baru, yang pada gilirannya dapat memperpanjang umur sel dan meningkatkan fungsinya.


Penelitian pada hewan menunjukkan bahwa autophagy mungkin juga dapat meningkatkan daya ingat kekebalan tubuh dan menekan perkembangan kanker. Namun, meskipun temuan ini menjanjikan pada hewan, penelitian pada manusia masih perlu dilakukan untuk memastikan manfaat serupa. Penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk mengetahui apakah autophagy yang dipicu oleh puasa dapat memperpanjang umur manusia atau mengurangi risiko penyakit.


Bagaimana Intermittent Fasting Bekerja?


Intermittent fasting pada dasarnya memperpanjang waktu antara makan malam dan sarapan keesokan harinya. Tujuannya adalah mendorong tubuh untuk beralih dari pembakaran glukosa (dari karbohidrat) ke keton (dihasilkan dari asam lemak), yang pada gilirannya memicu autophagy.


Proses ini dapat dijelaskan sebagai berikut:


Setelah makan, tubuh tetap berada dalam keadaan "kenyang" selama sekitar tiga jam, mencerna dan memanfaatkan glukosa untuk energi.


Setelah glukosa habis, tubuh memasuki "keadaan katabolik", di mana tubuh mulai memecah glikogen yang tersimpan di hati dan otot untuk menghasilkan glukosa.


Ketika cadangan glikogen habis, biasanya antara 12 hingga 24 jam setelah makan, tubuh memasuki keadaan ketosis, menghasilkan keton dan mengaktifkan autophagy.


Clarkson mencatat bahwa waktu transisi metabolik ini sangat bergantung pada faktor-faktor seperti genetika, pola makan, dan tingkat aktivitas fisik. Sebagai contoh, seseorang yang mengonsumsi diet tinggi karbohidrat mungkin tidak akan menghabiskan cadangan glikogennya sepenuhnya, sedangkan orang yang mengikuti diet rendah karbohidrat dan berolahraga secara teratur mungkin dapat mencapai ketosis lebih cepat.


Potensi Risiko Intermittent Fasting


Meski intermittent fasting memiliki banyak manfaat, tidak berarti tanpa risiko. Sebuah penelitian terbaru (meski belum dipublikasikan) yang melibatkan 20.000 orang dewasa di Amerika Serikat menemukan bahwa mereka yang membatasi makan hanya dalam jendela waktu 8 jam lebih mungkin meninggal karena penyakit jantung dibandingkan dengan mereka yang makan dalam jangka waktu 12-16 jam sehari. Meskipun penelitian ini belum melalui proses tinjauan sejawat, hal ini menunjukkan pentingnya mempertimbangkan potensi kerugian sebelum mengadopsi IF.


Cara Berpuasa yang Efektif


Mengelola rasa lapar adalah bagian penting dalam puasa. Rasa lapar muncul ketika hormon ghrelin mengirimkan sinyal ke otak untuk meningkatkan nafsu makan. Minum air putih atau tetap terhidrasi dapat membantu menekan rasa lapar awal, sementara hormon kenyang seperti leptin, yang dilepaskan dari sel, akan mengurangi rasa lapar seiring waktu.


Bagi banyak orang, transisi menuju ketosis terjadi antara 12 hingga 24 jam setelah makan. Beberapa penyesuaian kecil, seperti menghabiskan makan malam lebih awal atau menghindari camilan malam, dapat membantu mencapai keadaan ini. Clarkson menyarankan untuk memulai secara bertahap, misalnya dengan menyelesaikan makan malam satu jam lebih awal atau menunda sarapan. Seiring waktu, jadwal ini bisa diperpanjang menjadi beberapa hari dalam seminggu.


Intermittent fasting menawarkan berbagai manfaat kesehatan, termasuk meningkatkan autophagy dan perbaikan seluler. Namun, IF bukanlah strategi penurunan berat badan yang pasti berhasil dan mengandung risiko tertentu jika tidak dilakukan dengan hati-hati. Menjaga keseimbangan antara puasa, nutrisi, dan hidrasi sangat penting untuk hasil yang optimal.


Sebagai pendekatan diet, IF sebaiknya dilengkapi dengan pola makan dan gaya hidup yang seimbang. Keberhasilan IF terletak pada pemahaman tubuh Anda, mendengarkan kebutuhan tubuh, dan membuat pilihan yang bijak